“Spirit" dan "Feel" Menulis Buku Hanya dalam Satu Minggu
Pertemuan 19 |
: |
Senin, 15 Februari
2021 |
Waktu |
: |
Pukul 19.00 – 21.00
WIB |
Pemateri |
: |
Prof. Richardus Eko
Indrajit |
Topik |
: |
Kiat Menulis Buku
dalam Seminggu |
Peruseme |
: |
Lubis Pirnandes,
M.Pd |
Sudah lama saya
penasaran dengan sosoknya. Sejak bergabung dengan grup pelatihan menulis ini,
namanya sudah sering disinggung-singgung oleh para punggawa grup seperti Omjay
dan Bu Aam. Jadilah “namanya” menjadi salah satu nama yang saya “rindu-rindukan”
pada pelatihan menulis ini. Bagaimana tidak penasaran, kiprah dari sosok yang
lahir 52 tahun silam ini boleh dikatakan sangat luar biasa. Selain dikenal sebagai pakar teknologi, Bapak Eko Indrajit juga merupakan seorang pendidik, narasumber
berbagai seminar, lokakarya, dan penulis buku serta jurnal yang telah
dipublikasikan di dalam maupun luar negeri. Saat ini beliau juga tercatat sebagai salah satu anggota
Pengurus Besar PGRI dan menjadi Ketua PGRI Smart Learning Center. Benar-benar sosok
panutan untuk para pendidik dan penulis pemula.
Beruntung rasa “penasaran”
dan “kerinduan” itu akhirnya terjawab pada pertemuan ke-sembilan belas. Sosok yang
akrab disapa Prof. Ekoji ini membagikan pencerahan-pencerahannya tentang
menulis terkhusus tentang “spirit” dan “feel” dalam menulis. Informasi dari
kawan-kawan terdahulu, Prof Ekoji “hobi’ memberikan tantangan yang sungguh
menurut saya berat, yaitu menulis buku hanya dalam seminggu. Sekali lagi, hanya dalam seminggu?. Sengaja tulisan “hanya”
saya kapitalkan mengingat menulis buku dalam seminggu menurut saya “rada”
mustahil. Lha wong menulis Novel EBM saja saya mesti perlu waktu hampir 10
bulan. Itu pun dengan hasil yang menurut saya masih banyak sekali
kekurangannya. Nah ini dalam seminggu, gimana
saya mesti melakukannya?
Tapi Prof Ekoji
memberikan semangat pencerahannya, bahwa menulis hanya dalam seminggu bukanlah
hal mustahil. Banyak orang yang telah membuktikannya, termasuk salah satunya,
yaitu Bu Aam.
Nah berikut
poin-poin pencerahan dari Prog Ekoji terkait spirit dalam menulis:
1.Komunikasi via oral menjadi tulisan. Hampir setiap dari
kita hobi berbicara dan bercerita. Dalam sehari, bisa dibayangkan berapa banyak
kata yang telah meluncur dari mulut kita tentang cerita-cerita, baik cerita
sehari-hari hingga topik yang relatif berat. Dari cerita tentang panci di rumah
yang sudah bolong hingga berita artis seksi yang sedang hot jadi perbincangan
dan kasus korupsi para politisi yang tak berkesudahan. Nah, jika cerita-cerita
tersebut kemudian dituangkan dalam tulisan, bisa dibayangkan berapa banyak kata
lisan yang akhirnya bertransformasi menjadi tulisan. Jika dikalkulasi, maka dalam
seminggu bahkan sebulan tentu sudah banyak tulisan yang kemudian bisa disusun
menjadi sebuah buku.
2.Pilih topik yang disukai dan dikuasai. Menulis akan
menjadi lebih mudah jika yang ditulis adalah tema yang disukai atau dikuasai. Maka
menulislah tentang tema-tema yang menjadi hobi dan basic keimuan sehingga lebih
mudah dalam menguraikannya dan mengeksplorasinya. Penulis yang tidak terlalu menguasai
temanya, atau jauh dari basic keilmuannya, tentu akan membuat pembaca meragukan
kapasitas si penulis. Lebih dari itu, menulis hal-hal yang disukai akan membuat
kita tidak akan merasa bekerja walah satu detik pun. Kita akan lebih menikmati
prosesnya.
3.Konsisten menulis setiap hari. Hambatan menulis sebagian
besar datang dari diri sendiri. Rasa malas, jenuh, dan ketidakpercayaan diri terkadang
menghantui para penulis pemula. Untuk mengatasi hambatan tersebut, maka komitmen
dan konsistensi menulis menjadi taruhannya. Maka kuncinya adalah menjadikan
menulis sebagai menu aktivitas wajib setiap harinya. Memang terkadang kita harus
lebih memaksakan diri dan mendisrupsi diri agar terus konsisten dalam menulis. Kondisi
ini tentu harapannya akan menciptakan motivasi di tengah pressure yang ada.
4.Dukungan keluarga dan lingkungan yang kondusif. Banyak orang
yang bisa menulis jika berada pada lingkungan yang kondusif. Walaupun ada juga
yang bisa menulis di tengah keramaian. Artinya, kondusif dalam hal ini
terbilang relatif untuk masing-masing penulis atau sesuai dengan karakteristik
masing-masing. Begitu juga dengan penulis yang telah memiliki keluarga, maka
harus mendapatkan dukungan dari keluarga agar proses menulis tidak menjadi
beban dan justru menjadi kebahagian untuk semuanya.
5.Menulis bukan hanya untuk kepentingan publikasi, tetapi
juga untuk “kebahagiaan”. Jika menulis hanya berorientasi untuk kepentingan
publikasi, maka langkah kita akan menjadi lebih sempit. Jika tulisan gagal
dipublikasi, takutnya akan membuat kita menjadi kecewa dan justru berhenti
menulis. Namun, jika menulis sebagai ekspresi kabahagiaan diri, maka apapun
yang terjadi tidak akan menyurutkan langkah untuk terus menulis. Tetapi,
publikasi tulisan juga tetap penting sebagai target dan acuan.
Mantaaap... semangat literasi pak, semangat menulis dan nenginspirasi
ReplyDeleteResumenya menarik
ReplyDelete